Jakarta,-
Tegangan kekuatan yang saling menarik antara nilai kenangan dan konteks persoalan sosial budaya yang bersifat lokal dengan pencarian artistik yang khas untuk mencapai nilai universalitas seni yang bersifat pribadi seorang Otto Djaya di jelaskan dalam lukisan-lukisannya.
Seorang Bohemian, Seniman non konformis yang mendefinisikan refleksi dan estetika pribadinya sendiri, hidup selama enam dekade sejarah dan periode politik di Indonesia, semenjak masa kolonia Belanda, masa Perang Dunia ke 2, masa revolusi, masa pemerintahan Soekarno, dan Soeharto, hingga masa Demokrasi.

(Ki-ka): Inge-Marie Holst, Rizky A. Zaelani, dan Zamrud Setya Negara – Foto: Muller Mulyadi
Dikatakanoleh Rizky A. Zaelani dalam acara Konfrensi dan Tour Gallery Press di Galeri Nasional Indonesia 30 September 2016”Otto Djaya adalah seniman kebanggan Pasudan, tetapi sekembali dari Belanda tinggal disemarang, pelukis seangkatan Soedjojono tetapi tidak begitu terkenal, seorang seniman yang cukup lengkap tetapi periode penciptaannya tidak terlalu produktif, salah satu karyanya yang memiliki kekuatan adalah yang dibuat pada tahun 1960 an”.
Dengan inisiasi dari Ms. Inge-Marie Holst dan Mr. Hans Peter Holst yang melakukan penelitian tentang Otto Djaya, di Galeri Nasional Indonesia di laksanakan perhelatan pameran istimewa peringatan 100 tahun kelahiran Otto Djaya yang di gelar pada 30 September hingga 9 Oktober 2016. Dikurasi oleh Rizki A. Zaelani dan Inge-Marie Holst ditampilkan sekitar 200 karya Otto Djaya.
Dalam sambutannya Kepala Galeri Nasional Indonesia Tubagus ‘Andre’ Sukmana mengungkapkan, “Dalam karya-karyanya. Otto sering mengangkat tema-tema yang menggambarkan aktivitas budaya masyarakat saat itu, perjuangan, juga legenda. Ia menyuguhkan tema tersebut dengan gaya humor dan satir, hampir setiap karyanya menampakkan suasana yang hangat”. Ditambahkan pula oleh Tubagus Andre dua karya Otto Djaya telah menjadi koleksi Galeri Nasional Indonesia sekaligus menjadi koleksi Negara. Diantaranya Pertemuan, 1947, 65×88 cm, cat plakat pada kertas; dan Wayang Golek, 1954, 51×98 cm, cat minyak pada kanvas.
Memasuki Gedung A Galeri Nasional Indonesia di sebelah kiri kita akan melihat 2 buku replika yang dibuat pada tahun -50 an dengan Judul PASUNDAN dan MARKODOK Dengan Teman-Temannya, lalu sebuah karya lukisan menarik dengan ukuran 95 x 145cm (acrylic on kanvas) dengan judul “DIALOG DALAM KAMAR”, tema-tema yang ditampilkan dalam pameran adalah tema keseharian, tema kesenian, tema metologi.
Kisah yang dikutip dari dunia pewayangan dan mitologi tradisi ditampilkan secara khas dan spontan, tampil nyaris begitu saja, secara alamiah, seakan-akan kita memang hidup dalam bentangan kisah pewayangan.
Selain itu ia juga banyak menampilkan tarian sosial dalam tradisi Indonesia dalam lukisan-lukisannya, seperti Ronggeng, Reog Ponorogo, Cap Go Meh, Kecak. Jenis intensitas warna-warna dari lukisan Otto Djaya melampaui zamannya, hal ini bisa terlihat dari warna hijau dedaunan yang khas dan biru langit yang cemerlang. Banyak lukisannya yang menjadi khusus karena mencampurkan atau memasukan tokoh-tokoh wayang dari keluarga Punakawan (Petruk dan Gareng) dalam situasi hidup keseharian.
Otto Djaya yang lahir pada tahun 1916 adalah salah satu master dalam sejarah seni rupa Indonesia. Ia pernah menjadi pejuang kemerdekaan dimasa kolonia. Bersama saudaranya Agus Djaya, mereka pernah pergi untuk belajar dan bekerja sebagai seniman di negeri Belanda pada tahun 1947 – 1950 dan beberapa kali pameran di Eropa.
(tcs/foto: alicia
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.