JAMBI (indonesiadaily.co.id) – Meski keduanya saat ini sedang dirawat dan diisolasi positif Covid-19, sebagai wartawan masih memenuhi tanggung jawab informasi yang meng-edukasi ditengah kepanikan masyarakat menghadapi pandemi.
Ditengah deraan rasa cemas, rindu keluarga dan terapi kesehatan yang diterapkan untuk penyembuhan Covid-19, keduanya masih terinspirasi dan termotivasi untuk berbagi cerita dari ruang isolasi.
Dengan kepiawaiannya sebagai wartawan senior, DI menceritakan dengan mengalir dan runtut seakan kita dapat menyaksikan langsung rententan peristiwa yang dialaminya.
Berikut kisahnya sebagaimana dikutip dari laman https://infojambi.com/, setelah indonesiadaily.co.id meminta izin untuk mempublikasi kisahnya.
KISAH “DI” BAGIAN (2)
MINGGU, 27 September 2020, hari pertama menjalani isolasi di Rumah Isolasi milik Pemprov Jambi, di Bapelkes, Pijoan. Rasa kantuk masih kuat, karena malamnya tidur tidak nyenyak. Pikiran kacau. Hati galau…
Pagi itu saya suruh isteri yang dalam kondisi tidak sehat, dan anak yang masih kelas satu SD, pindah ke rumah keluarga besarnya, di Talangbanjar, Jambi Timur. Saya khawatir mental mereka terpukul, begitu tetangga tahu saya positif corona.
Benar saja. Tidak lama setelah isteri dan anak saya pergi, orang dari kelurahan dan puskesmas datang. Kabar saya positif corona dengan cepat menyebar. Mereka membawa alat semprot dan berpakaian APD lengkap. Warga pun heboh… Tidak ada yang berani mendekati rumah saya.
BACA JUGA :Kisah Wartawan Menghadapi Covid-19 di Ruang Isolasi Jambi (1)
KISAH “DI” BAGIAN (2)
JAMBIDAILY JURNAL – MINGGU, 27 September 2020, hari pertama menjalani isolasi di Rumah Isolasi milik Pemprov Jambi, di Bapelkes, Pijoan. Rasa kantuk masih kuat, karena malamnya tidur tidak nyenyak. Pikiran kacau. Hati galau…
Pagi itu saya suruh isteri yang dalam kondisi tidak sehat, dan anak yang masih kelas satu SD, pindah ke rumah keluarga besarnya, di Talangbanjar, Jambi Timur. Saya khawatir mental mereka terpukul, begitu tetangga tahu saya positif corona.
Benar saja. Tidak lama setelah isteri dan anak saya pergi, orang dari kelurahan dan puskesmas datang. Kabar saya positif corona dengan cepat menyebar. Mereka membawa alat semprot dan berpakaian APD lengkap. Warga pun heboh… Tidak ada yang berani mendekati rumah saya.
IKUTI JUGA :Peduli Jurnalis, FJPI Jambi Bantu Wartawan Terpapar Covid
Petugas menyemprot rumah saya dengan cairan disinfektan. Tapi cuma di luar saja, tidak bisa menyemprot di bagian dalam karena rumah dalam keadaan terkunci. Rumah saya jadi tontonan warga, ditakuti, bak rumah angker berhantu. Seraaammm….
Yang membuat saya makin tidak tenang, waktu itu isteri saya dalam kondisi demam. Sejak beberapa hari sebelumnya dia kehilangan rasa di lidah. Penciumannya juga begitu, tidak berfungsi. Setahu saya, itu ciri-ciri utama covid-19.
Tanpa ada arahan dari pemerintah atau gugus tugas, saya suruh dia isolasi. Kamar harus khusus. Sementara anak yang umurnya tujuh tahun, dipisahkan kamarnya. Isteri patuh, tidak keluar kamar, kecuali berwudhu dan mandi. Makanan pun diantar sampai di depan pintu kamar.
IKUTI JUGA :Ahli Penyakit TORCH Ir. H. Juanda: Penyakit Miningitis Bisa Disembuhkan
Sampai di situ, masih juga sedih. Pikiran masih kacau. Dalam benak saya, Covid-19 itu belum ada obatnya. Resiko kematian tinggi sekali. Pasien yang meninggal dunia sudah banyak. Di Indonesia mencapai 10 ribu. Di Jambi ada belasan. Dampak terburuk itu terbayang-bayang di pelupuk mata.
Hari itu tidak ada yang menghubungi isteri saya. Seharusnya untuk tracking contact, orang-orang yang pernah dekat dengan pasien posiyit “diburu” cepat, agar tidak terjadi lagi penyebaran. Heran…
Atas inisiatif sendiri, dari kamar “Wiro Sableng” ini saya hubungi Juru Bicara Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Provinsi Jambi, Johansyah. Saya tanya, kapan isteri dan rekan-rekan saya di-tracking ? Jawabannya, Senin rapid test, bukan swab, di Labkesda Jambi, di Telanaipura.
BACA JUGA : Berwisata Aman dan Bahagia di Jabar Saat Pandemi COVID-19
Kabar itu pun saya sampaikan pada isteri. Saya minta dia rapid test, sesuai arahan gugus tugas. Dia mau, bahkan sangat mau, mengingat mata rantai penyebaran covid-19 ini harus diputus. Apalagi dia punya anak kecil.
Dukungan Moril
Sebelum jam delapan pagi, pintu kamar digedor. Seorang petugas kesehatan berpakaian mirip astronot terlihat berdiri di depan pintu. Dia mengantar makanan yang dikemas dalam kotak karton. Juga ada obat, isinya tiga butir.
Obat itu hanya untuk JP, teman sekamar saya ganteng. Saya sudah diberi obat sewaktu di IGD. Sejak malam itu suhu tubuh saya memang agak tinggi. Kepala sakit. Entah apa sebabnya, corona atau ngedrop…
Hari Minggu itu, sejak pagi sampai sore handphone tidak lepas dari tangan. Selain memastikan keadaan isteri dan anak, juga menjawab panggilan kawan-kawan. Entah berapa banyak yang menelepon hari itu. Belasan, mungkin puluhan.
BACA JUGA : Cerita Pasien Isolasi Covid-19 Terpenjara Dikamar ‘Wiro Sableng’
Masya Allah… Semua menyampaikan keprihatinan. Berharap saya bisa menghadapi cobaan ini dengan sabar. Mereka berusaha meyakinkan, bahwa saya akan lepas dari serangan virus yang belum ada anti dan vaksinnya ini. Mereka juga memberi semangat.
Semua yang disampaikan itu saya yakin tulus. Satu per satu saya dengarkan. Ada pula yang menyarankan agar saya mencoba pengobatan alternatif. Minum ini… makan itu… Ya, semua itu untuk kesembuhan saya.
Namun komunikasi dengan kawan-kawan seprofesi itu tidak semerta-merta membuat tenang. Berat… Yang dihadapi ini kematian, kecil sekali kemungkinan sembuh. Yang ada di pelupuk mata cuma liang kubur. Dimakamkan dengan protokol covid-19. Tidak diantar oleh keluarga. Ahhh.…(*)
Sumber: (DI/infojambi.com)